Bule Turki Buka Salon Ilegal – Di tengah hiruk-pikuk Canggu yang semakin sesak dengan ekspatriat, muncul lagi satu cerita kontroversial yang bikin gerah: seorang bule asal Turki nekat membuka salon rambut tanpa izin resmi. Ironisnya, tarif jasa potong rambutnya selangit—Rp 600 ribu hanya untuk merapikan helai-helai rambut yang tumbuh pelan. Pertanyaannya: kenapa para pendatang ini bisa leluasa beroperasi tanpa sentuhan hukum?
Salon tersebut tak hanya berdiri di lokasi strategis, tapi juga mengusung konsep premium ala Eropa. Interiornya elegan, alat-alat canggih, dan gaya pelayanan sok profesional. Tapi di balik kesan mewah itu, salon ini di duga tidak memiliki izin usaha resmi bonus new member, dan lebih parah lagi: si bule Turki ini bahkan di duga tidak mengantongi izin kerja di Indonesia. Ini jelas pelanggaran, namun mengapa penegakan hukum terasa seperti angin lalu?
Menyingkirkan Pelaku Lokal, Menguasai Pasar
Yang bikin panas telinga para pelaku usaha lokal adalah dominasi pelan-pelan dari salon-salon ilegal milik ekspatriat ini. Bayangkan, seorang WNI yang ingin buka usaha salon harus bergulat dengan izin berlapis, aturan pajak yang ketat, dan biaya operasional yang tidak kecil. Sementara para bule? Masuk seenaknya, buka usaha tanpa izin, pasang tarif tinggi, dan bahkan kadang enggan bayar pajak.
Salon ilegal ini jadi bukti nyata bahwa ada ketimpangan perlakuan antara warga lokal dan asing. Bukannya membawa nilai tambah, praktik seperti ini malah mematikan ekonomi lokal slot bet 400. Para hair stylist lokal yang sudah puluhan tahun mengasah skill, tiba-tiba harus bersaing dengan ‘ahli potong rambut’ dadakan dari luar negeri yang modalnya hanya gaya dan akun Instagram aesthetic.
Aparat Tidur atau Tutup Mata?
Pertanyaannya makin tajam: di mana peran aparat? Bisakah mereka benar-benar tegas terhadap warga asing yang menabrak aturan? Ataukah mereka hanya sibuk merazia warung kaki lima milik rakyat kecil, sementara usaha ilegal bule di biarkan berkembang bebas?
Canggu, yang dulunya di kenal sebagai kawasan yang tenang dan artistik, kini berubah jadi ‘kota mini’ bule yang merasa bisa melakukan apa pun tanpa konsekuensi depo 10k. Dari membuka restoran tanpa izin, mengajar yoga ilegal, hingga kini—memotong rambut seharga Rp 600 ribu tanpa legalitas.
Kalau ini di biarkan, bukan tidak mungkin para pengusaha lokal bakal jadi tamu di negeri sendiri. Izin, pajak, dan regulasi seolah hanya berlaku bagi warga Indonesia, sementara para bule bisa bebas menari di atas hukum. Apakah kita akan terus diam, atau sudah saatnya bertindak?